Jumat, 23 Mei 2008

Anggaran Pertahanan di dalam Kerangka Ekonomi Neoliberal

Anggaran Pertahanan di dalam Kerangka Ekonomi Neoliberal[1]

Don K. Marut


Akhir-akhir ini anggaran pertahanan sudah menjadi topik perdebatan yang hampir tidak berakhir. Kurangnya anggaran yang dialokasikan oleh APBN membuat terbatasnya kemampuan TNI untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan dan kesejahteraan personilnya. Mengapa sebenarnya anggaran militer diperketat? Apakah karena TNI sering dituduh melanggar HAM, sehingga cara untuk mengontrolnya adalah dengan mengontrol anggarannya? Pemahaman yasng saksama tentang anggaran sebagai bagian dari cara pandang ekonomi yang dianut rejim sekarang perlu dicermati secara saksama. Ideologi ekonomi yang dianut oleh rejim yang berkuasa, terutama para pembuat kebijakan ekonominya, amat menentukan alokasi anggaran bagi sektor pertahanan dan menentukan cara pandang pemerintah tentang posisi militer di dalam keseluruhan kehidupan bernegara.

Barber Conable, mantan Presiden Bank Dunia 1980-an, merasa sangat gembira ketika menyaksikan semakin menguatnya konsensus global bahwa kekuatan-kekuatan pasar dan efisiensi ekonomi menjadi sarana terbaik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan menjadi obat pemusnah kemiskinan. Kekuatan pasar dan efisiensi ekonomi adalah inti dari ekonomi neoliberal, yang dewasa ini hampir dijadikan sebagai doktrin ideologis bagi lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dan para teknokrat negara-negara sedang berkembang yang sangat patuh kepada Bank Dunia dan IMF. Kekuatan pasar, bukan kekuatan pemerintah (termasuk birokrasi dan tentara nasional), merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi. Efisiensi ekonomi hanya bisa dicapai dan dijalankan oleh kekuatan-kekuatan pasar, bukan oleh kekuatan-kekuatan aparatur negara.[2]

Dalam pandangan neoliberalisme birokrasi (termasuk juga tentara nasional) hanya menghambur-hamburkan resources karena bukan merupakan kekuatan produktif dan karena itu peran dan kekuatannya harus diperkecil. Birokrasi pemerintah hanya dibatasi pada perancangan regulasi dan menjaga agar regulasi diimplementasikan. Demikian pun dengan tentara nasional, karena peran negara diperkecil maka peran tentara nasional pun diperkecil dan bahkan tentara nasional tidak tercakup di dalam konsep ekonomi neoliberal. Tentara hanya dibutuhkan untuk melawan kekuatan-kekuatan yang merongrong operasi bisnis korporasi multinasional, di luar wilayah kekuasaan negara; seperti yang dilakukan oleh AS di Irak. Alokasi anggaran untuk militer dianggap sebagai penghamburan keuangan negara.

Ketika TNI menghadapi kekurangan anggaran untuk peningkatan kapabilitas dan peningkatan kesejahteraan, masalahnya sebenarnya bukan terletak pada kekurangan anggaran itu sendiri, tetapi terletak pada cara pandang para pembuat kebijakan ekonomi tentang anggaran pertahanan dan tentang peran militer di dalam negara. Jika pembuat kebijakan ekonomi (yang menganut neoliberalisme) memandang militer tidak memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi, maka alokasi anggaran militer pun dibatasi hanya sebagai pelengkap agar sebuah negara tetap memiliki aparatus pertahanan.

Ekonomi neoliberal percaya bahwa kekuatan-kekuatan pasar harus menentukan produksi, distribusi dan konsumsi untuk hampir semua barang dan jasa, dan bahwa kebebasan pasar tidak boleh didistorsi oleh campur tangan negara. Dalam pandangan neoliberalisme, semua kekuatan di dalam sebuah negara yang tidak mempunyai fungsi produktif (menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan di pasar) hanya menghambur-hamburkan sumberdaya dan menjadi free-riders. Apakah barang dan jasa yang diproduksi oleh TNI bisa diperdagangkan? Sebagian Ya; selebihnya mungkin Tidak! Jika demikian, para penganut neoliberalisme akan mengatakan bahwa tentara hanya berukuran sesuai dengan kapasitas untuk menghasilkan barang dan jasa untuk pasar di dalam cakupan pasar terbatas. Jika tidak, jasa militer akan diserahkan kepada pasar. Munculnya perusahaan-perusahaan swasta yang menawarkan jasa keamanan baik dalam negeri maupun di luar negeri adalah bagian dari cara pandang neoliberalisme yang mengatakan bahwa keamanan dan pertahanan – jika menghasilkan profit – harus diserahkan kepada kekuatan pasar untuk mendapatkan profit yang lebih besar dan efisiensi yang lebih tinggi.


Manajemen Keuangan Negara dan Anggaran TNI

Manajemen keuangan Negara secara luas berkaitan erat dengan hak-hak rakyat, lewajiban-kewajiban rakyat dan harapan-harapan rakyat akan manfaat dan pemanfaatan sumberdaya kolektif yang dikuasai dan dikelola Negara.[3] Secara sempit bisa dikatakan bahwa manajemen keuangan Negara merupakan jantung dari kebijakan fiscal dan bekerjanya sebuah pemerintahan. Pengelolaan keuangan Negara bisa menjadi cermin apakah uang Negara dipakai untuk kesejahteraan seluruh rakyat, atau hanya kesejahteraan pengelolanya, atau hanya untuk memberi insentif kepada segelintir sector swasta (yang di Indonesia berarti sekelompok kecil keluarga), atau hanya untuk memberi wewenang atau otoritas kepada apparatur Negara untuk menjinakkan rakyat atau klien baik di dalam system aparatur Negara sendiri maupun di luar lingkaran system tersebut.

Dalam teori tentang kapitalisme monopoli Negara, belanja Negara merupakan anggaran untuk modal swasta dan proyeksi-proyeksi publiknya. Negara bertindak sebagai kekuatan politik dan ekonomi pada pusat proses sirkulasi modal dengan fungsi-fungsinya yang esensial. Jika Negara memegang pusat ekonomi dan politik tersebut, maka belanja public sebenarnya sama dengan belanja upah untuk Negara. Karena itu perjuangan atas anggaran public seharusnya dilihat sebagai suatu wilayah konflik yang fundamental.[4] Jika Negara hanya melayani kepentingan para pemilik modal, maka anggaran untuk belanja Negara sama dengan anggaran untuk upah aparatur Negara. Karena Negara yang menguasai politik termasuk politik anggaran, maka Negara memiliki otoritas strategis untuk menentukan berapa upah yang harus dibayar oleh pemilik modal kepada Negara dan aparatur Negara.

Kekuasaan Negara untuk menentukan anggaran ini tidak sepenuhnya otonom di dalam masa globalisasi yang dikontrol dan diorkestrasi oleh kekuatan-kekuatan keuangan global. Dengan fiscal austerity yang menjadi kondisionalitas kebijakan ekonomi Indonesia sejak menerima utang dan program Structural Adjustments dari Bank Dunia pada awal 1980-an, APBN hampir tidak pernah bisa berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demikian pun, APBN tidak memberi ruang kepada Negara untuk meningkatkan pendapatan (atau upah dalam cara pandangan kapitalisme monopoli Negara). Alokasi anggaran yang lebih dititik-beratkan pada pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi makro dan lebih melayani kepentingan konglomerasi nasional dan korporasi global, hampir tidak bisa menjadi instrument yang dapat diandalkan untuk membangun bangsa.

Pertahanan dan anggaran pertahanan merupakan salah satu korban dari fiscal austerity dan kepatuhan pemerintah Indonesia kepada resep-resep dari Bank Dunia dan IMF. Dorongan kepada Indonesia untuk menggunakan kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan tidak lain untuk mengikat Indonesia pada mekanisme pasar yang tidak adil untuk Indonesia sendiri. Kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan jelas melampaui kapasitas pembayaran kembali oleh bangsa Indonesia. Kreditor mengetahui bahwa persenjataan tidak menghasilkan returns untuk pembayaran utang sehingga penumpukan utang pertahanan akan menjadi alat untuk kondisionalitas baru atau alat politik untuk menekan system pertahanan Indonesia. Kredit ekspor yang menggunakan mekanisme pasar dan surat utangnya bisa diperdagangkan di pasar bebas, dan karena itu tidak mungkin bisa dihapus, membawa Indonesia pada posisi sulit untuk membangun otonomi system pertahanannya.

Off-budget sebagai tindakan rent-seeking

Di dalam Negara otoriter atau birokratik-otoriter, anggaran pendapatan dan belanja Negara menjadi arena bagi para penguasa dan birokrasi untuk aktivitas self-seeking. Baik sisi pendapatan maupun sisi belanja, sama-sama menjadi arena untuk memperkaya diri para penguasa dan birokrat. Di dalam Negara-negara transisi demokrasi, arena yang sama menjadi ajang perebutan partai politik, lembaga-lembaga akademik, lembaga-lembaga think-tank, kelompok-kelompok di dalam masyarakat dan tentu saja para birokrat sendiri, tetapi dengan metode dan mekanisme yang berbeda-beda. Setiap aktor berjuang untuk mendapatkan bagian dari alokasi anggaran tersebut. Ini yang sering disebut sebagai rent-seeking activities.

Rente (rents) di sini lebih luas dari pengertian awal yang mengacu kepada sewa tanah atau sewa properti seperti dalam literatur teori ekonomi klasik. Rente mengacu kepada pendapatan melebihi jumlah yang seharusnya didapatkan karena pengaturan institusional atau hak-hak yang berbeda[5]. Rente juda diasumsikan sebagai the next best income. Orang mengeluarkan biaya dengan ekspektasi untuk mendapatkan rente yang lebih besar pada masa berikutnya. Sebagai salah satu contoh, sekelompok orang di desa melakukan pengorganisasian komunitas untuk mempertahankan hutan adatnya. Diasumsikan bahwa hutan adat ini akan memberikan pendapatan kepada desa di kemudian hari. Orang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pendidikan, dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan orang tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih tinggi pula. Pendapatannya belum tentu teraktualisasi, tetapi umumnya rente memberi tambahan pendapatan. Contoh lain adalah sebuah lembaga di dalam suatu negara berusaha merebut posisi-posisi politik penting untuk mendapatkan hak istimewa dalam alokasi anggaran negara, atau untuk mendapatkan hak istimewa dalam mengambil manfaat dari sumberdaya negara.

Dalam literatur ekonomi politik, rente dikaitkan dengan beberapa hal. Pertama, kegiatan untuk mendapatkan rente (rent-seeking activities) dilihat sebagai suatu kegiatan yang tidak produktif (directly unproductive economic activities – DUP activities). Rent-seeking digambarkan sebagai aktivitas pemborosan sumberdaya oleh individu-individu atau kelompok dalam mendapatkan aliran kekayaan melalui perlindungan atau hak khusus dari negara. [6] James M. Buchanan dalam buku yang sama mengatakan kegiatan mencari rente merupakan perilaku dalam setting institusional tertentu dimana upaya-upaya individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk memaksimisasi nilai justru menghasilkan pemborosan sosial daripada surplus sosial. Rent-seeking juga dipandang sebagai upaya-upaya individu atau kelompok yang melakukan investasi pada sesuatu yang pada dasarnya tidak meningkatkan produktivitas atau sebaliknya menurunkan tingkat produktivitas, tetapi kegiatan tersebut meningkatkan pendapatannya sendiri karena posisi tertentu yang memberinya hak isitimewa atau monopoli.

Keterlibatan anggota TNI di dalam bisnis, yang didapatkannya karena posisi TNI sendiri dalam politik, bisa dikategorikan sebagai rent-seeking atau lebih tepat DUP activities. Kegitan-kegiatan bisnis tersebut menjadi monopoli TNI, dan tidak memberikan pendapatan (revenues) kepada negara, karena seringkali bebas pajak, dan juga tidak memberi kontribusi pada anggaran militer untuk peningkatan kapabilitas militer. Kegiatan DUP membawa kerugian kepada negara atau menjadi waste bagi negara dan pada gilirannya tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Karena manajemen bisnis tersebut juga tidak dijalankan secara profesional, maka bisnis tersebut pada gilirannya tidak membawa manfaat untuk institusi TNI sendiri, tetapi hanya khusus individu di dalam institusi TNI.[7] Kegiatan rent-seeking seperti ini secara ekonomis membawa welfare loss bagi negara dan masyarakat.

Berapa welfare loss yang disebabkan oleh kegiatan rent-seeking seperti ini? Perhitungannya mungkin berbeda dari perhitungan biasa dalam ekonomi tentang rent-seeking, karena pada dasarnya TNI tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan monopoli atau hak istimewa dalam bisnis tertentu. Welfare loss terjadi karena penghasilan dari bisnis tersebut tidak memberi pendapatan kepada negara (bebas pajak) dan tidak menghasilkan produktivitas yang memberi kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB).

Kedua, rente bertaitan dengan property rights atau aturan yang menciptakan nilai rente pada kegiatan atau property tertentu. Orang melakukan aksi kolektif untuk mendapatkan rente (sebagai contoh: natural resources rent), atau orang me-lobby ke Parlemen untuk membuat undang-undang yang melindungi intellectual property rights untuk memberi rewards kepada para innovator (Schumpeterian rents), atau untuk mendapatkan income cuma-uma berupa subsidi. Orang membiayai perjuangan politik seseorang atau sekelompok orang (seperti partai politik) untuk mendapatkan konsesi monopoli. Yang terakhir ini sering dipakai oleh para konglomerat Orde Baru dan partai penguasa pada waktu itu. Para konglomerat mendukung penguasa dan partai yang berkuasa untuk mendapatkan hak monopoli dalam berbagai bidang.

Aktivitas mencari atau mengakumulasi rente sebenarnya tidak menimbulkan masalah kalau proses dan hasilnya tidak melanggar undang-undang dan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, baik dalam kolektivitas kecil maupun masyarakat luas. Rent-seeking bermakna negatif dan hampir disamakan dengan korupsi atau perampokan ketika melibatkan politik dan otoritas yang tidak semestinya atau bertentangan dengan hukum. Orang membayar untuk merebut posisi politik, dengan tujuan mendapatkan rente termasuk kekuasaan untuk menentukan alokasi anggaran yang akan menguntungkan dirinya atau kelompoknya.


Sumber APBD untuk Anggaran Pertahanan

Pengelolaan pendapatan dan belanja negara menentukan prediktabilitas kelangsungan sebuah negara, atau prediktabilitas peningkatan kesejahteraan warga negaranya, apakah sebuah bangsa memiliki masa depan yang cerah atau tidak. Pengelolaan anggaran militer seharusnya tidak sama seperti itu. Militer menjadi bagian dari kelengkapan sebuah negara dan karena itu dalam situasi apapun militer tetap mendapatkan alokasi anggaran tertentu. Persoalannya adalah apakah anggaran tersebut tinggi atau rendah, mencukupi atau tidak untuk peningkatan kapabilitas, kesiapan dan pengadaan operasi, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara khusus dan Produk Domestik Bruto secara keseluruhan.

Sejak dikeluarkannya UU TNI No. 34/2004 yang membatasi anggaran pendapatan dan belanja TNI hanya dari APBN (anggaran dari pemerintah pusat), peluang TNI untuk meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan prajuritnya sangat tergantung pada besaran dana APBN yang dialokasikan pada sektor pertahanan. Dalam tiga tahun terakhir anggaran pertahanan dari APBN tidak mencapai 3% dari APBN, sementara dibandingkan dengan kebutuhan kapabilitas persenjataan yang ada yang seharusnya diganti atau ditingkatkan, anggaran tersebut sangatlah tidak mencukupi. Tetapi ketidakcukupan anggaran tersebut tidak berarti bahwa TNI memiliki justifikasi untuk mencari sumber pendanaan lain di luar APBN. Sumber di luar APBN itu melanggar UU TNI sendiri, melanggar UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Termasuk dalam sumber di luar APBN adalah sumber dari APBD.

Anggaran menjadi kendala utama dari peningkatan kekuatan persenjataan militer Indonesia. Ketika negara-negara lain merancang anggaran untuk peningkatan kekuatan persenjataan dan pemanfaatan teknologi militer untuk kepentingan ekonomi, Indonesia masih berkutat pada peningkatan anggaran untuk kesejahteraan prajurit. Karena itu perlu dicarikan strategi jangka panjang untuk pendanaan sektor pertahanan baik untuk peningkatan kapabilitas TNI maupun untuk peningkatan kesejahteraan anggota TNI.

Pertama, untuk peningkatan kesejahteraan anggota TNI. Tentara sejak awal ditempatkan pada posisi yang keliru dalam tatanan sistem birokrasi negara. Godaan untuk terlibat dalam kegiatan rent-seeking, juga disebabkan oleh rendahnya rewards yang diterima oleh anggota TNI. Karena posisinya yang khusus di dalam negara, rewards system TNI sewajarnya disejajarkan dengan rewards system yang ada di dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kegiatan rent-seeking yang umum dilakukan oleh TNI di masa lalu, dengan terlibat dalam bisnis legal dan illegal, sebenarnya disebabkan oleh posisi TNI yang berada di bawah kendali birokrasi umum. Di samping itu karena keterlibatan TNI yang sudah terlalu jauh dalam politik bangsa. Posisi tersebut telah membuat TNI tidak berorientasi pada pertahanan negara, tetapi lebih pada mempertahankan kekuasaan dan posisinya dalam politik.

Kedua, perlu dicarikan terobosan untuk peningkatan anggaran untuk peningkatan kapabilitas persenjataan TNI, mulai dari research and development dari sistem persenjataan sampai kepada industri strategis yang memproduksi senjata-senjata yang sesuai dengan tantangan pertahanan kontemporer dan prediksi masa depan. Beberapa industri strategis yang ada sekarang dikembangkan lagi untuk memproduksi senjata-senjata baru entah melalui lisensi atau yang benar-benar temuan di dalam negeri. Pengembangan industri strategis dirancang dengan menarik investasi dari pemerintah-pemenrintah daerah yang memiliki PAD tinggi atau memiliki kekayaan alam berlimpah.

Lebih dari itu, hal yang mendasar adalah bagaimana meletakkan ideologi ekonomi nasional pada perspektif yang tepat sesuai dengan visi kebangsaan yang juga dijunjung tinggi oleh tentara profesional Indonesia, yaitu ideologi ekonomi yang tidak hanya mengandalkan kekuatan pasar (baca: korporasi global) dan militer hanya dilihat sebagai aktor kecil untuk melindungi kekuatan pasar. Ideologi ekonomi yang mempengaruhi cara panjang tentang posisi dan peran militer suatu bangsa perlu dilihat lagi agar kedaulatan bangsa ditempatkan pada proporsi yang jelas dan aparatur-aparatur negara ditempatkan pada peran dan posisi yang tepat, sehingga dengan demikian APBN pun dibangun di atas visi kebangsaan yang dituntun oleh demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya dan dijaga oleh kekuatan negara yang mumpuni.

Buku ini melihat sebagian kecil dari keseluruhan kerangka reformasi TNI, dalam hal ini berkaitan dengan anggaran yang diambil dari luar APBN. Mudah-mudahan temuan yang diungkapkan di dalam buku ini tidak hanya memacu debat hanya pada anggaran, tetapi bisa mendorong debat yang lebih luas tentang ideologi ekonomi nasional di mana anggaran hanya merupakan bagian kecil.
[1] Kata Pengantar untuk buku “Off-Budget dan Sumber Pembiayaan Pertahanan RI”, INFID, 2008.
[2] Caroline Thomas, Global Governance, Development and Human Security (London: Pluto Press, 2000), hal. 39 – 42.
[3] Arigapunti Premchand, “Public Finance Management: Getting the Basics Right” dalam Salvatore Schiavo-Campo, ed. Governance, Corruption and Public Financial Management (Manila: Asian Development Bank, 1999).
[4] Michael Hardt dan Antonio Negri, Labor of Dionysus: A Critique of the State-Form, hal. 182 – 183.
[5] Warren J. Samuel and Nicholas Mercuro, “A Critique of Rent-Seeking Theory”, dalam David C. Colander ed.), Neoclassical Political Economy: The Analysis of Rent-Seeking and DUP Activities (Cambridge, Mass.: Ballinger Publishing Company, 1984), hal. 55.
[6] James M. Buchanan, R.D. Tollison and Gordon Tullock (eds.), Toward the Theory of Rent-Seeking Society (College Station: Texas A&M University Press, 1980), hal. ix).
[7] Andrew MacIntyre, “Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking ad Economic Performance in Indonesia”, dalam Mushtaq H. Khan dan Jomo K.S. (eds), Rents, Rent-seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).

Tidak ada komentar: