Jumat, 23 Mei 2008

Anggaran Pertahanan di dalam Kerangka Ekonomi Neoliberal

Anggaran Pertahanan di dalam Kerangka Ekonomi Neoliberal[1]

Don K. Marut


Akhir-akhir ini anggaran pertahanan sudah menjadi topik perdebatan yang hampir tidak berakhir. Kurangnya anggaran yang dialokasikan oleh APBN membuat terbatasnya kemampuan TNI untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan dan kesejahteraan personilnya. Mengapa sebenarnya anggaran militer diperketat? Apakah karena TNI sering dituduh melanggar HAM, sehingga cara untuk mengontrolnya adalah dengan mengontrol anggarannya? Pemahaman yasng saksama tentang anggaran sebagai bagian dari cara pandang ekonomi yang dianut rejim sekarang perlu dicermati secara saksama. Ideologi ekonomi yang dianut oleh rejim yang berkuasa, terutama para pembuat kebijakan ekonominya, amat menentukan alokasi anggaran bagi sektor pertahanan dan menentukan cara pandang pemerintah tentang posisi militer di dalam keseluruhan kehidupan bernegara.

Barber Conable, mantan Presiden Bank Dunia 1980-an, merasa sangat gembira ketika menyaksikan semakin menguatnya konsensus global bahwa kekuatan-kekuatan pasar dan efisiensi ekonomi menjadi sarana terbaik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan menjadi obat pemusnah kemiskinan. Kekuatan pasar dan efisiensi ekonomi adalah inti dari ekonomi neoliberal, yang dewasa ini hampir dijadikan sebagai doktrin ideologis bagi lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dan para teknokrat negara-negara sedang berkembang yang sangat patuh kepada Bank Dunia dan IMF. Kekuatan pasar, bukan kekuatan pemerintah (termasuk birokrasi dan tentara nasional), merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi. Efisiensi ekonomi hanya bisa dicapai dan dijalankan oleh kekuatan-kekuatan pasar, bukan oleh kekuatan-kekuatan aparatur negara.[2]

Dalam pandangan neoliberalisme birokrasi (termasuk juga tentara nasional) hanya menghambur-hamburkan resources karena bukan merupakan kekuatan produktif dan karena itu peran dan kekuatannya harus diperkecil. Birokrasi pemerintah hanya dibatasi pada perancangan regulasi dan menjaga agar regulasi diimplementasikan. Demikian pun dengan tentara nasional, karena peran negara diperkecil maka peran tentara nasional pun diperkecil dan bahkan tentara nasional tidak tercakup di dalam konsep ekonomi neoliberal. Tentara hanya dibutuhkan untuk melawan kekuatan-kekuatan yang merongrong operasi bisnis korporasi multinasional, di luar wilayah kekuasaan negara; seperti yang dilakukan oleh AS di Irak. Alokasi anggaran untuk militer dianggap sebagai penghamburan keuangan negara.

Ketika TNI menghadapi kekurangan anggaran untuk peningkatan kapabilitas dan peningkatan kesejahteraan, masalahnya sebenarnya bukan terletak pada kekurangan anggaran itu sendiri, tetapi terletak pada cara pandang para pembuat kebijakan ekonomi tentang anggaran pertahanan dan tentang peran militer di dalam negara. Jika pembuat kebijakan ekonomi (yang menganut neoliberalisme) memandang militer tidak memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi, maka alokasi anggaran militer pun dibatasi hanya sebagai pelengkap agar sebuah negara tetap memiliki aparatus pertahanan.

Ekonomi neoliberal percaya bahwa kekuatan-kekuatan pasar harus menentukan produksi, distribusi dan konsumsi untuk hampir semua barang dan jasa, dan bahwa kebebasan pasar tidak boleh didistorsi oleh campur tangan negara. Dalam pandangan neoliberalisme, semua kekuatan di dalam sebuah negara yang tidak mempunyai fungsi produktif (menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan di pasar) hanya menghambur-hamburkan sumberdaya dan menjadi free-riders. Apakah barang dan jasa yang diproduksi oleh TNI bisa diperdagangkan? Sebagian Ya; selebihnya mungkin Tidak! Jika demikian, para penganut neoliberalisme akan mengatakan bahwa tentara hanya berukuran sesuai dengan kapasitas untuk menghasilkan barang dan jasa untuk pasar di dalam cakupan pasar terbatas. Jika tidak, jasa militer akan diserahkan kepada pasar. Munculnya perusahaan-perusahaan swasta yang menawarkan jasa keamanan baik dalam negeri maupun di luar negeri adalah bagian dari cara pandang neoliberalisme yang mengatakan bahwa keamanan dan pertahanan – jika menghasilkan profit – harus diserahkan kepada kekuatan pasar untuk mendapatkan profit yang lebih besar dan efisiensi yang lebih tinggi.


Manajemen Keuangan Negara dan Anggaran TNI

Manajemen keuangan Negara secara luas berkaitan erat dengan hak-hak rakyat, lewajiban-kewajiban rakyat dan harapan-harapan rakyat akan manfaat dan pemanfaatan sumberdaya kolektif yang dikuasai dan dikelola Negara.[3] Secara sempit bisa dikatakan bahwa manajemen keuangan Negara merupakan jantung dari kebijakan fiscal dan bekerjanya sebuah pemerintahan. Pengelolaan keuangan Negara bisa menjadi cermin apakah uang Negara dipakai untuk kesejahteraan seluruh rakyat, atau hanya kesejahteraan pengelolanya, atau hanya untuk memberi insentif kepada segelintir sector swasta (yang di Indonesia berarti sekelompok kecil keluarga), atau hanya untuk memberi wewenang atau otoritas kepada apparatur Negara untuk menjinakkan rakyat atau klien baik di dalam system aparatur Negara sendiri maupun di luar lingkaran system tersebut.

Dalam teori tentang kapitalisme monopoli Negara, belanja Negara merupakan anggaran untuk modal swasta dan proyeksi-proyeksi publiknya. Negara bertindak sebagai kekuatan politik dan ekonomi pada pusat proses sirkulasi modal dengan fungsi-fungsinya yang esensial. Jika Negara memegang pusat ekonomi dan politik tersebut, maka belanja public sebenarnya sama dengan belanja upah untuk Negara. Karena itu perjuangan atas anggaran public seharusnya dilihat sebagai suatu wilayah konflik yang fundamental.[4] Jika Negara hanya melayani kepentingan para pemilik modal, maka anggaran untuk belanja Negara sama dengan anggaran untuk upah aparatur Negara. Karena Negara yang menguasai politik termasuk politik anggaran, maka Negara memiliki otoritas strategis untuk menentukan berapa upah yang harus dibayar oleh pemilik modal kepada Negara dan aparatur Negara.

Kekuasaan Negara untuk menentukan anggaran ini tidak sepenuhnya otonom di dalam masa globalisasi yang dikontrol dan diorkestrasi oleh kekuatan-kekuatan keuangan global. Dengan fiscal austerity yang menjadi kondisionalitas kebijakan ekonomi Indonesia sejak menerima utang dan program Structural Adjustments dari Bank Dunia pada awal 1980-an, APBN hampir tidak pernah bisa berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demikian pun, APBN tidak memberi ruang kepada Negara untuk meningkatkan pendapatan (atau upah dalam cara pandangan kapitalisme monopoli Negara). Alokasi anggaran yang lebih dititik-beratkan pada pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi makro dan lebih melayani kepentingan konglomerasi nasional dan korporasi global, hampir tidak bisa menjadi instrument yang dapat diandalkan untuk membangun bangsa.

Pertahanan dan anggaran pertahanan merupakan salah satu korban dari fiscal austerity dan kepatuhan pemerintah Indonesia kepada resep-resep dari Bank Dunia dan IMF. Dorongan kepada Indonesia untuk menggunakan kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan tidak lain untuk mengikat Indonesia pada mekanisme pasar yang tidak adil untuk Indonesia sendiri. Kredit ekspor untuk pengadaan persenjataan jelas melampaui kapasitas pembayaran kembali oleh bangsa Indonesia. Kreditor mengetahui bahwa persenjataan tidak menghasilkan returns untuk pembayaran utang sehingga penumpukan utang pertahanan akan menjadi alat untuk kondisionalitas baru atau alat politik untuk menekan system pertahanan Indonesia. Kredit ekspor yang menggunakan mekanisme pasar dan surat utangnya bisa diperdagangkan di pasar bebas, dan karena itu tidak mungkin bisa dihapus, membawa Indonesia pada posisi sulit untuk membangun otonomi system pertahanannya.

Off-budget sebagai tindakan rent-seeking

Di dalam Negara otoriter atau birokratik-otoriter, anggaran pendapatan dan belanja Negara menjadi arena bagi para penguasa dan birokrasi untuk aktivitas self-seeking. Baik sisi pendapatan maupun sisi belanja, sama-sama menjadi arena untuk memperkaya diri para penguasa dan birokrat. Di dalam Negara-negara transisi demokrasi, arena yang sama menjadi ajang perebutan partai politik, lembaga-lembaga akademik, lembaga-lembaga think-tank, kelompok-kelompok di dalam masyarakat dan tentu saja para birokrat sendiri, tetapi dengan metode dan mekanisme yang berbeda-beda. Setiap aktor berjuang untuk mendapatkan bagian dari alokasi anggaran tersebut. Ini yang sering disebut sebagai rent-seeking activities.

Rente (rents) di sini lebih luas dari pengertian awal yang mengacu kepada sewa tanah atau sewa properti seperti dalam literatur teori ekonomi klasik. Rente mengacu kepada pendapatan melebihi jumlah yang seharusnya didapatkan karena pengaturan institusional atau hak-hak yang berbeda[5]. Rente juda diasumsikan sebagai the next best income. Orang mengeluarkan biaya dengan ekspektasi untuk mendapatkan rente yang lebih besar pada masa berikutnya. Sebagai salah satu contoh, sekelompok orang di desa melakukan pengorganisasian komunitas untuk mempertahankan hutan adatnya. Diasumsikan bahwa hutan adat ini akan memberikan pendapatan kepada desa di kemudian hari. Orang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pendidikan, dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan orang tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih tinggi pula. Pendapatannya belum tentu teraktualisasi, tetapi umumnya rente memberi tambahan pendapatan. Contoh lain adalah sebuah lembaga di dalam suatu negara berusaha merebut posisi-posisi politik penting untuk mendapatkan hak istimewa dalam alokasi anggaran negara, atau untuk mendapatkan hak istimewa dalam mengambil manfaat dari sumberdaya negara.

Dalam literatur ekonomi politik, rente dikaitkan dengan beberapa hal. Pertama, kegiatan untuk mendapatkan rente (rent-seeking activities) dilihat sebagai suatu kegiatan yang tidak produktif (directly unproductive economic activities – DUP activities). Rent-seeking digambarkan sebagai aktivitas pemborosan sumberdaya oleh individu-individu atau kelompok dalam mendapatkan aliran kekayaan melalui perlindungan atau hak khusus dari negara. [6] James M. Buchanan dalam buku yang sama mengatakan kegiatan mencari rente merupakan perilaku dalam setting institusional tertentu dimana upaya-upaya individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk memaksimisasi nilai justru menghasilkan pemborosan sosial daripada surplus sosial. Rent-seeking juga dipandang sebagai upaya-upaya individu atau kelompok yang melakukan investasi pada sesuatu yang pada dasarnya tidak meningkatkan produktivitas atau sebaliknya menurunkan tingkat produktivitas, tetapi kegiatan tersebut meningkatkan pendapatannya sendiri karena posisi tertentu yang memberinya hak isitimewa atau monopoli.

Keterlibatan anggota TNI di dalam bisnis, yang didapatkannya karena posisi TNI sendiri dalam politik, bisa dikategorikan sebagai rent-seeking atau lebih tepat DUP activities. Kegitan-kegiatan bisnis tersebut menjadi monopoli TNI, dan tidak memberikan pendapatan (revenues) kepada negara, karena seringkali bebas pajak, dan juga tidak memberi kontribusi pada anggaran militer untuk peningkatan kapabilitas militer. Kegiatan DUP membawa kerugian kepada negara atau menjadi waste bagi negara dan pada gilirannya tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Karena manajemen bisnis tersebut juga tidak dijalankan secara profesional, maka bisnis tersebut pada gilirannya tidak membawa manfaat untuk institusi TNI sendiri, tetapi hanya khusus individu di dalam institusi TNI.[7] Kegiatan rent-seeking seperti ini secara ekonomis membawa welfare loss bagi negara dan masyarakat.

Berapa welfare loss yang disebabkan oleh kegiatan rent-seeking seperti ini? Perhitungannya mungkin berbeda dari perhitungan biasa dalam ekonomi tentang rent-seeking, karena pada dasarnya TNI tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan monopoli atau hak istimewa dalam bisnis tertentu. Welfare loss terjadi karena penghasilan dari bisnis tersebut tidak memberi pendapatan kepada negara (bebas pajak) dan tidak menghasilkan produktivitas yang memberi kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB).

Kedua, rente bertaitan dengan property rights atau aturan yang menciptakan nilai rente pada kegiatan atau property tertentu. Orang melakukan aksi kolektif untuk mendapatkan rente (sebagai contoh: natural resources rent), atau orang me-lobby ke Parlemen untuk membuat undang-undang yang melindungi intellectual property rights untuk memberi rewards kepada para innovator (Schumpeterian rents), atau untuk mendapatkan income cuma-uma berupa subsidi. Orang membiayai perjuangan politik seseorang atau sekelompok orang (seperti partai politik) untuk mendapatkan konsesi monopoli. Yang terakhir ini sering dipakai oleh para konglomerat Orde Baru dan partai penguasa pada waktu itu. Para konglomerat mendukung penguasa dan partai yang berkuasa untuk mendapatkan hak monopoli dalam berbagai bidang.

Aktivitas mencari atau mengakumulasi rente sebenarnya tidak menimbulkan masalah kalau proses dan hasilnya tidak melanggar undang-undang dan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, baik dalam kolektivitas kecil maupun masyarakat luas. Rent-seeking bermakna negatif dan hampir disamakan dengan korupsi atau perampokan ketika melibatkan politik dan otoritas yang tidak semestinya atau bertentangan dengan hukum. Orang membayar untuk merebut posisi politik, dengan tujuan mendapatkan rente termasuk kekuasaan untuk menentukan alokasi anggaran yang akan menguntungkan dirinya atau kelompoknya.


Sumber APBD untuk Anggaran Pertahanan

Pengelolaan pendapatan dan belanja negara menentukan prediktabilitas kelangsungan sebuah negara, atau prediktabilitas peningkatan kesejahteraan warga negaranya, apakah sebuah bangsa memiliki masa depan yang cerah atau tidak. Pengelolaan anggaran militer seharusnya tidak sama seperti itu. Militer menjadi bagian dari kelengkapan sebuah negara dan karena itu dalam situasi apapun militer tetap mendapatkan alokasi anggaran tertentu. Persoalannya adalah apakah anggaran tersebut tinggi atau rendah, mencukupi atau tidak untuk peningkatan kapabilitas, kesiapan dan pengadaan operasi, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara khusus dan Produk Domestik Bruto secara keseluruhan.

Sejak dikeluarkannya UU TNI No. 34/2004 yang membatasi anggaran pendapatan dan belanja TNI hanya dari APBN (anggaran dari pemerintah pusat), peluang TNI untuk meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan prajuritnya sangat tergantung pada besaran dana APBN yang dialokasikan pada sektor pertahanan. Dalam tiga tahun terakhir anggaran pertahanan dari APBN tidak mencapai 3% dari APBN, sementara dibandingkan dengan kebutuhan kapabilitas persenjataan yang ada yang seharusnya diganti atau ditingkatkan, anggaran tersebut sangatlah tidak mencukupi. Tetapi ketidakcukupan anggaran tersebut tidak berarti bahwa TNI memiliki justifikasi untuk mencari sumber pendanaan lain di luar APBN. Sumber di luar APBN itu melanggar UU TNI sendiri, melanggar UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Termasuk dalam sumber di luar APBN adalah sumber dari APBD.

Anggaran menjadi kendala utama dari peningkatan kekuatan persenjataan militer Indonesia. Ketika negara-negara lain merancang anggaran untuk peningkatan kekuatan persenjataan dan pemanfaatan teknologi militer untuk kepentingan ekonomi, Indonesia masih berkutat pada peningkatan anggaran untuk kesejahteraan prajurit. Karena itu perlu dicarikan strategi jangka panjang untuk pendanaan sektor pertahanan baik untuk peningkatan kapabilitas TNI maupun untuk peningkatan kesejahteraan anggota TNI.

Pertama, untuk peningkatan kesejahteraan anggota TNI. Tentara sejak awal ditempatkan pada posisi yang keliru dalam tatanan sistem birokrasi negara. Godaan untuk terlibat dalam kegiatan rent-seeking, juga disebabkan oleh rendahnya rewards yang diterima oleh anggota TNI. Karena posisinya yang khusus di dalam negara, rewards system TNI sewajarnya disejajarkan dengan rewards system yang ada di dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kegiatan rent-seeking yang umum dilakukan oleh TNI di masa lalu, dengan terlibat dalam bisnis legal dan illegal, sebenarnya disebabkan oleh posisi TNI yang berada di bawah kendali birokrasi umum. Di samping itu karena keterlibatan TNI yang sudah terlalu jauh dalam politik bangsa. Posisi tersebut telah membuat TNI tidak berorientasi pada pertahanan negara, tetapi lebih pada mempertahankan kekuasaan dan posisinya dalam politik.

Kedua, perlu dicarikan terobosan untuk peningkatan anggaran untuk peningkatan kapabilitas persenjataan TNI, mulai dari research and development dari sistem persenjataan sampai kepada industri strategis yang memproduksi senjata-senjata yang sesuai dengan tantangan pertahanan kontemporer dan prediksi masa depan. Beberapa industri strategis yang ada sekarang dikembangkan lagi untuk memproduksi senjata-senjata baru entah melalui lisensi atau yang benar-benar temuan di dalam negeri. Pengembangan industri strategis dirancang dengan menarik investasi dari pemerintah-pemenrintah daerah yang memiliki PAD tinggi atau memiliki kekayaan alam berlimpah.

Lebih dari itu, hal yang mendasar adalah bagaimana meletakkan ideologi ekonomi nasional pada perspektif yang tepat sesuai dengan visi kebangsaan yang juga dijunjung tinggi oleh tentara profesional Indonesia, yaitu ideologi ekonomi yang tidak hanya mengandalkan kekuatan pasar (baca: korporasi global) dan militer hanya dilihat sebagai aktor kecil untuk melindungi kekuatan pasar. Ideologi ekonomi yang mempengaruhi cara panjang tentang posisi dan peran militer suatu bangsa perlu dilihat lagi agar kedaulatan bangsa ditempatkan pada proporsi yang jelas dan aparatur-aparatur negara ditempatkan pada peran dan posisi yang tepat, sehingga dengan demikian APBN pun dibangun di atas visi kebangsaan yang dituntun oleh demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya dan dijaga oleh kekuatan negara yang mumpuni.

Buku ini melihat sebagian kecil dari keseluruhan kerangka reformasi TNI, dalam hal ini berkaitan dengan anggaran yang diambil dari luar APBN. Mudah-mudahan temuan yang diungkapkan di dalam buku ini tidak hanya memacu debat hanya pada anggaran, tetapi bisa mendorong debat yang lebih luas tentang ideologi ekonomi nasional di mana anggaran hanya merupakan bagian kecil.
[1] Kata Pengantar untuk buku “Off-Budget dan Sumber Pembiayaan Pertahanan RI”, INFID, 2008.
[2] Caroline Thomas, Global Governance, Development and Human Security (London: Pluto Press, 2000), hal. 39 – 42.
[3] Arigapunti Premchand, “Public Finance Management: Getting the Basics Right” dalam Salvatore Schiavo-Campo, ed. Governance, Corruption and Public Financial Management (Manila: Asian Development Bank, 1999).
[4] Michael Hardt dan Antonio Negri, Labor of Dionysus: A Critique of the State-Form, hal. 182 – 183.
[5] Warren J. Samuel and Nicholas Mercuro, “A Critique of Rent-Seeking Theory”, dalam David C. Colander ed.), Neoclassical Political Economy: The Analysis of Rent-Seeking and DUP Activities (Cambridge, Mass.: Ballinger Publishing Company, 1984), hal. 55.
[6] James M. Buchanan, R.D. Tollison and Gordon Tullock (eds.), Toward the Theory of Rent-Seeking Society (College Station: Texas A&M University Press, 1980), hal. ix).
[7] Andrew MacIntyre, “Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking ad Economic Performance in Indonesia”, dalam Mushtaq H. Khan dan Jomo K.S. (eds), Rents, Rent-seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).

Buruh dan Petani: Dari Kelas Pekerja Menjadi Konsumen

BURUH DAN PETANI:
DARI KELAS PEKERJA MENJADI KONSUMEN[1]

Don K. Marut[2]

“Teknisi Kekuasaan (Policy wonk) adalah musuh utama Buruh dan Petani”


Konsep tentang buruh (dan petani) dewasa ini mengalami degradasi makna dan bahkan pemaknaan yang negatif, tidak hanya dalam debat filosofis, tetapi juga dalam teori perundang-undangan, politik dan terutama ekonomi. Semula buruh (dan petani) mengacu terutama pada persoalan nilai. Konsep tentang buruh-tani dan nilai mengandung makna saling memaknai: buruh-tani mengandung makna sebagai upaya dan faktor penciptaan nilai. Dalam pemahaman ini buruh-petani berfungsi sebagai kekuatan analitik sosial yang memaknai produksi nilai melintasi seluruh spektrum sosial, termasuk ekonomi dan budaya. Melihat buruh dan petani di dalam konteks proses penciptaan nilai bisa menjadi lensa yang tepat dan paling jernih untuk melihat keseluruhan produksi, tidak hanya sekedar produksi pengetahuan dan identitas (sebagai suatu kelas), tetapi produksi keseluruhan masyarakat. Karena itu buruh dan petani harus dilihat tidak hanya sebagai kekuatan destruktif terhadap masyarakat kapitalis, tetapi sebagai suatu proposisi atau afirmasi dari suatu jenis masyarakat – suatu peng-karakteristik-an masyarakat.

Buruh dan petani adalah bagian utuh dari suatu masyarakat (sistem sosial) yang memberi nilai terhadap keseluruhan sistem ekonomi dan budaya masyarakat tersebut. Buruh dan petani menjadi komponen utama dari pemaknaan kehidupan sosial, kultural dan ekonomi, serta terhadap kemanusiaan itu sendiri. Buruh dan petani memberi fondasi bagi pemaknaan nilai kemanusiaan di dalam sistem kemasyarakatan.

Negara dibangun di atas pemaknaan nilai yang diciptakan oleh basis sosial dan ekonomi dari masyarakatnya. Berbeda dari sejarah terbentuknya negara di Eropa yang berkembang dari negara kota (city states), negara seperti Indonesia dibangun di atas proses produksi dari keseluruhan produksi di mana komponen buruh dan petani menjadi fondasi pemaknaan tatanan sosial dan tatanan kenegaraan. Di dalam tatanan sosial paling kecil sekalipun (komunitas), tatanan sosial, ekonomi dan budaya dibangun di atas nilai yang dihasilkan secara kolektif melalui proses produksi yang sistematis di mana buruh dan petani menjadi komponen utama yang utuh dari penciptaan nilai di dalam masyarakat tersebut. Karena itu komunitas menciptakan institusi dan aturan main untuk melindungi komunitas dan warganya. Demikian pun seharusnya Negara yang dibangun sebagai sistem sosial dan politik; buruh dan petani merupakan peletak dasar fondasi kenegaraan. Karena itu pantaslah jika konstitusi Indonesia menempatkan ”perlindungan dan pencapaian kesejahteraan rakyat seluruhnya dan seutuhnya” sebagai tujuan bernegara.

Jika buruh adalah basis dari nilai, maka nilaipun adalah basis dari buruh. Apa yang disebut buruh, atau kerja penciptaan nilai, selalu bergantung pada nilai-nilai yang ada di dalam konteks sosial dan historis tertentu. Dengan kata lain, buruh tidak hanya didefinisikan sebagai kegiatan, apa pun kegiatan tersebut, tetapi khususnya kegiatan yang diakui secara sosial sebagai penciptaan nilai. Kerja yang mencakup buruh tidak pernah tetap (fixed) atau given, tetapi ditentukan secara sosial dan historis, dan juga mencakup wilayah konstelasi sosial. Yang semakin menonjol adalah nilai kerja perempuan (use value of female labor).

Fenomena umum yang paling penting dari transformasi buruh dewasa ini adalah perubahan kea rah masyarakat-pabrik (factory-society). Proses penciptaan nilai tidak lagi dikonsentrasikan di dalam lingkungan bangunan pabrik, tetapi seluruh masyarakat dijadikan sebagai pabrik.

Di tengah menguatnya kekuatan neoliberal, di mana teknisi kekuasaan atau teknokrat (policy wonk, menuruh Hannah Arendt) menjadi pemain utama dalam menerjemahkan konstitusi ke dalam aturan-perundang-undangan yang operasional, Negara pun dimaknai hanya sebagai salah satu subyek dari statecraft. Ketatanegaraan di dalam pandangan kaum neoliberal hanyalah sebuah kekuatan abstrak yang mekanis dan instrumental untuk mengatur pemerintahan. Negara sebagai puncak konsensus seluruh unsur kekuatan sosial, budaya, politik dan kemanusiaan mulai menghilang, dan hanya dilihat sebagai instrumen liberal untuk menguasai pemerintahan. Negara yang seharusnya menjamin dan memberi perlindungan terhadap rakyatnya, oleh para teknisi kekuasaan neoliberal, justru dipakai untuk meniadakan kekuatan-kekuatan yang dianggapnya menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan neoliberal yang menguntungkan kelas kapitalis (domestik dan global). Di dalam situasi krisis di mana kekuatan buruh dan petani menguat dan mendesakkan perubahan, para teknisi kekuasaan bukannya membangun institusi mediasi dan penyelesaian sengketa, tetapi justru bahkan mendorong penyingkirian (eksklusi dan disposesi): baik mengeksklusikan buruh (dan petani) dari proses negosiasi tradisional maupun eksklusi buruh dari tempat produksi atau eksklusi petani dari lahan produksinya.

Eksklusi buruh dan disposesi lahan petani dilakukan dengan berbagai cara: mulai dari yang halus sampai dengan cara-cara yang kasar: mekanisasi dan komputerisasi, free exit dan repatriasi tanpa tanggung jawab sosial, sampai kepada free labor market. Semua metode eksklusi dan disposesi ini menempatkan buruh dan petani serta keseluruhan warga negara sebagai konsumen. Buruh dan petani diperlakukan sebagai konsumen (dari lapangan kerja dan penyediaan lahan) yang harus tunduk pada hukum pasar: permintaan dan penawaran. Jika permintaan banyak (unemployment rate tinggi), maka harus menerima fakta gaji rendah dan perlakuan yang tidak wajar. Jika supplier melihat bahwa pasar lain lebih baik, industri bisa saja dipindahkan ke mana pun.

Di mana posisi negara di dalam situasi seperti ini? Negara yang dikuasasi para teknisi kekuasaan neoliberal, didukung kepartaian yang dikuasai oleh para self-seeking politicians dan rent-seeking intellectuals, justru memfasilitasi proses penguatan sistem di mana buruh-tani dan seluruh warga negara menjadi konsumen.




Subsidi Negara vs. Subsidi Pasar

Akhir-akhir ini kita sering mendengar pernyataan bahwa pemerintah menghadapi masalah beban anggaran karena meningkatnya subsidi kepada rakyat: subsidi BBM dan sebagainya. Para pengamat, media masa dan bahkan aktivis juga menerima pernyataan tersebut sebagai suatu kebenaran. Negara mensubsidi Rakyat. Ini sebenarnya pernyataan yang misleading dan mengacaukan. Negara dibentuk sebagai konsensus bersama seluruh bangsa, bukan sebagai suatu kontrak antara dua pihak yang independen. Warga negara tidak membuat kontrak dengan negara, sebagaimana dikatakan oleh Jean Jacques Rouseau. Negara Indonesia dibentuk tidak seperti negara di Eropa yang dibentuk dari, atas dan oleh para pangeran. Negara Indonesia dibentuk sebagai suatu konsensus bersama dengan semangat kolektivitas dan semangat perjuangan perlawanan. Negara Indonesia dibentuk dan dibangun sebagai sebuah puncak dari konsensus sosial, kultural dan politik di mana seluruh bangsa dan rakyat yang beraneka ragam di bumi nusantara ini menjadi komponen utama, dan kolektivitas sosial, kultural dan politik yang tersebar di seluruh bumi nusantara menjadi fondasi utama dari bangunan negara dan kenegaraan ini. Karena itu Negara bukanlah aktor atau komponen independen dari suatu sistem sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Indonesia. Negara ini adalah cakupan dan puncak dari keseluruhan komponen tersebut. Kalaupun konsensus nasional ini dianggap sebagai kontrak sosial, substansinya tetap ada di dalam kolektivitas kebangsaan.

Para aktivis pun menerima kerangka trikhotomi: negara – pasar – masyarakat sipil. Seolah-olah negara hanyalah satu komponen dari triangle atau segitiga negara – pasar – masyarakat sipil, dan karena itu masyarakat sipil dan pasar adalah institusi independen dari negara, atau setidak-tidaknya sederajad dengan negara. Saya ingin menekankan bahwa baik pasar maupun masyarakat sipil adalah institusi yang berada di dalam bangunan Negara. Tidak ada pasar yang bergerak tanpa lindungan negara, dan tidak ada masyarakat sipil yang memiliki identitas tanpa negara. Negara adalah rujukan dari masyarakat sipil dan pasar. Di dalam kerangka berpikir seperti ini, Negara dibangun untuk melindungi rakyat. Negara diberi fungsi untuk menjalankan kewajiban untuk melindungi rakyat. Negara tidak mempunyai hak; Negara hanya mempunyai kewajiban. Kewajiban utama negara adalah untuk melindungi dan menjamin agar rakyatnya hidup di dalam kesejahteraan minimal, ketenteraman dan keamanan. Pemerintah di dalam negara demokratis dipilih untuk menjalankan kewajiban kenegaraan itu, bukan untuk mengabaikan kewajiban kenegaraan.

Di dalam konteks seperti ini, tidaklah wajar kalau Negara memberi subsidi kepada rakyat. Yang benar adalah Negara menjalankan kewajiban agar rakyat tidak jatuh kedalam kemiskinan, agar hak rakyat tidak dilanggar, hak rakyat selalu dilindungi, rakyat tidak hidup di dalam situasi terancam karena sikap agresif dari sesama rakyat atau dari ancaman luar, rakyat mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak untuk menjalankan kehidupannya, dan menjaga agar rakyat yang tidak bisa menjalankan pekerjaannya mendapatkan dukungan yang pantas dari sesama rakyat melalui Negara. Jika pemerintah membiarkan rakyatnya hidup di dalam kelaparan, ketidak-amanan karena ancaman bencana, tidak bisa mewujudkan hak untuk mendapat pekerjaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan, maka pemerintah tersebut tidak menjalankan kewajiban kenegaraan seperti yang dimandatkan oleh konstitusi.

Kalau kita memahami kerangka subsidi seperti yang dibicarakan oleh pemerintah, para pengamat dan aktivis, kita sebenarnya bisa menemukan bahwa Pemerintah selama ini lebih banyak memberi subsidi kepada aktor pasar besar ketimbang memberi subsidi kepada rakyatnya. BLBI adalah subsidi finansial kepada aktor perbankan dan aktor bisnis lainnya. Ekspor minyak mentah ke Singapura dengan harga murah dan membeli minyak dari Singapura dengan harga lebih tinggi (dan ini yang disebut sebagai subsidi BBM) adalah bentuk subsidi BBM kepada aktor pasar global secara umum dan subsidi BBM kepada Singapura dan aktor pasar domestik secara khusus. Bagaimana mungkin pemerintah memberi subsidi BBM kepada rakyat. Konversi minyak ke gas adalah bentuk subsidi kepada pasar (para pembuat pipa gas alam cair – Bakrie Bumi Resources, investor gas alam cair: Bank Dunia melalui IFC, Mitsubishi Jepang melalui Medco, dan sebagainya).

Bantuan Langsung Tunai (BLT atau conditional cash transfer) diumumkan sebagai subsidi kepada orang miskin. Itu keliru besar. BLT adalah konsep subsidi kepada pasar. Orang miskin diberi uang untuk dibelanjakan atau membeli kebutuhan dasar, sehingga bisa menjaga stabilitas pasar pemasok kebutuhan dasar. BLT adalah bentuk lain dari konsep ”Education voucher” dari Milton Friedman, ekonom yang menjadikan ekonomi neoliberal sebagai ideologi ekonomi dan ideologi politik. Menurut Friedman, pasar harus dibiarkan beroperasi bebas sebebas-bebasnya. Ketika warga negara tidak bisa terlibat di dalam pasar, negara mempunyai kewajiban untuk memberi santunan (berupa voucher) kepada warga negara untuk ditukarkan di pasar.

Pemerintah kita telah terlalu jauh membelokkan konsep kewajiban Negara menjadi bentuk intervensi terhadap pasar. Negara seharusnya ada untuk menjamin bahwa seluruh rakyat mendapatkan perlindungan atas hak-hak rakyat. Ketika Negara mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pelaksana tugas di tingkat RT menjalankan kewajibannya untuk menjamin bahwa seluruh warganya hidup aman di lingkungannya. RT yang memantau kehidupan warganya. Itulah tugas atau kewajiban Negara di tingkat RT.

Ketika pemerintah mengeluarkan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, maka petugas kesehatan dari Puskesmas Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin agar seluruh rakyat pemegang Kartu Asuransi Kesehatan hidup dalam keadaan sehat, Petugas kesehatan harus secara reguler memantau kesehatan dari para pemegang Kartu Asuransi Kesehatan. Dalam kenyataannya, Kartu Asuransi Kesehatan dipakai sebagai alat bayar pelayanan kesehatan; kartu Asuransi Kesehatan dipakai sebagai Voucher a la ekonomi liberal agar pasar kesehatan berjalan secara stabil.

Demikianlah para teknisi kekuasaan neoliberal dan para intelektual dan media pendukungnya mengalihkan kewajiban Negara untuk melindungi rakyat menjadi kewajiban Negara untuk melindungi Pasar.



Kekuatan Multilateral dan Ekonomi Domestik

Dalam sepuluh tahun terakhir (1997 – 2007) pembangunan ekonomi dan program-program pengentasan Kemiskinan tidak atau kurang menunjukkan dukungan positif kepada penghidupan rakyat; situasi Kemiskinan bahkan lebih buruk (dari segi kualitas). Salah satu penyebab utama dari menurunnya kinerja pembangunan di Indonesia bisa ditarik pada peristiwa ketika pemerintah menerima utang sebesar US$ 7.3 billion dari IMF bersama seluruh persyaratannya yang membebankan kehidupan rakyat. Sejak penandatanganan LoI dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dengan IMF, Indonesia masih sangat sulit untuk meningkatkan kinerja pembangunannya. Dalam 7 tahun (1997 – 2004) Indonesia menandatangani 20 LoI dan MEFP dengan berbagai persyaratan yang berat. Hasilnya jelas: meningkatnya kemiskinan, tingkat kematian karena gizi buruk dan kelaparan, dan konflik-konflik untuk merebut sumberdaya.

Salah satu aspek dari LoI dan MEFP yang memaksa pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan resep-resep kebijakan dari UMF dan Bank Dunia yang secara langsung membawa pegaruh buruk pada kondisi penghidupan rakyat (terutama petani) adalah yang berkaitan dengan pertanian dan petani. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh IMF dan dipantau secara sistematis oleh Bank Dunia, adalah:

1. Pemerintah tidak diijinkan untuk mengontrol harga dan distribusi beras.
2. Pemerintah harus memotong subsidy pada harga beras hingga nol.
3. Peniadaan larangan dan batasan atas impor beras.
4. Pemotongan subsidi kepada sector pertanian hingga nol.
5. Privatisasi Biro Umum Logistik (BULOG).
6. Peniadaan kredit khusus untuk petani, kredit harus menjadi bisnis dari bank-bank komersial.

Persyaratan-persyaratan ini menyerang langsung ke jantung penghidupan mayoritas rakyat Indonesia, yakni petani dan buruh.

Berkaitan dengan persyaratan di dalam bidang ekonomi dan perdagangan, pemerintah telah memberikan arena yang lebih leluasa dan luas kepada actor-aktor ekonomi global untuk terlibat luas di dalam ekonomi domestic dan terutama dalam hal mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. Negara beralih fungsi tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tetapi menjadi pelindung utama actor ekonomi global dan menindas rakyatnya sendiri. TNCs yang berpartisipasi dalam ekonomi domestic dan local, seharusnya datang sebagai tamu yang diundang dan bukan sebagai pasukan penakluk, dan karena itu mereka harus menghormati aturan dan kebiasaan local dan domestik.

Para teknisi kekuasaan (pembuat kebijakan ekonomi) lebih berperan sebagai penjamin bagi keamanan investor daripada sebagai pembuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para teknisi kekuasaan (atau sering disebut juga ekonom-teknokrat) menampilkan wajah lugu, seolah-olah pernyataan-pernyataannya netral, tidak bertendensi politis, dan ilmiah, padahal di balik pernyataan kebijakan ekonomi yang diterapkan terkandung strategi dan substansi yang mengarah kepada pelucutan kewajiban Negara untuk melayani rakyat dan mendorong rakyat (buruh-petani) untuk menjadi konsumen bagi lapangan kerja, konsumen bagi produk yang diambil dari sumberdaya yang sebelumnya milik kolektif masyarakat, dan menjadi konsumen bagi produk yang didistribusikan oleh kekuatan pasar sampai pelosok tanah air. Para teknisi kekuasaan (ekonom-teknokrat) inilah yang menjadi kaki-tangan kekuatan pasar global dan kekuatan Keuangan internasional untuk menciptakan kondisi politik dan ekonomi di mana kekuatan ekonomi global bisa bergerak bebas di dalam Negara tanpa hambatan ekonomis dan politis; di mana kekuatan ekonomi global diperlakukan sebagai actor pasar domestik.

Gerakan politik dan gerakan social:

Jika pemerintah (ekonom-teknokrat) telah menjadi alat dari kekuatan ekonomi global untuk meratakan jalan bagi berkembangnya pasar domestik bagi kekuatan pasar global ini, dan dengan jelas tidak bisa diandalkan untuk melindungi hak-hak rakyat secara keseluruhan atau mendorong tercapainya pembangunan seluruh bangsa dan seluruh manusia Indonesia, apa yang harus dilakukan oleh buruh-tani? Jika buruh-tani sudah hanya menjadi konsumen, dan bukan pencipta nilai, apa yang harus dilakukan oleh buruh-tani dan para pendampingnya?

Pengalaman di Amerika Latin, pengambil-alihan politik tidak selalu membantu perubahan politik. Partai politik progresif sekalipun bisa dibelokkan oleh kekuatan ekonomi dan finansial multinasional. Presiden Lula di Brazil yang berjuang semula melalui organisasi buruh dan kemudian membangun basis gabungan buruh dan petani ternyata kemudian menjadi Presiden yang ramah terhadap kekuatan ekonomi dan keuangan global. Para aktivis Partai yang semula menyebarkan dan meneriakkan slogan anti-kapitalisme global dan anti-lembaga-lembaga keuangan internasional, ternyata ketika menduduki jabatan strategis justru melakukan negosiasi kerjasama yang lebih intensif dengan para aktor ekonomi dan keuangan global.

Yang masih bertahan dengan setia mendampingi rakyat miskin dan korban HAM adalah kelompok-kelompok gerakan sosial dan kelompok-kelompok yang menjalankan kegiatn ekonomi berbasis komunitas. Dua kelompok ini bahkan yang memegang semangat perjuangan dan kemandirian rakyat di bawah tekanan yang berlebihan dari kekuatan Negara dan aktor ekonomi dan keuangan global. Karena itu yang perlu dibangun terus-menerus adalah gabungan gerakan sosial dan kegiatan ekonomi tingkat lokal. Gerakan sosial membantu membangun solidaritas yang kuat, dan gerakan ekonomi lokal membantu mendorong pengambil alihan rente sumberdaya alam dan penguasaan sumberdaya alam secara kokoh.

Di Indonesia, kekuatan finansial internasional seperti Bank Dunia, ketika tidak mampu memegang kendali atas pemerintah pusat karena terhambat Undang-undang, mulai menyerang pemerintah daerah untuk mengajukan utang langsung ke luar negeri. Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pinjaman langsung tersebut karena terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Karena itu lembaga-lembaga ini mulai mempengaruhi wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah untuk memaksa pemerintah pusat. Persoalannya, para wakil rakyat ini pun meminta bayaran yang tidak sedikit yang tidak mungkin bisa dibayar oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ini. Karena itu upaya yang baru sedang dilaksanakan adalah mengubah konstitusi (UUD 45) agar DPD mempunyai otoritas pembuatan undang-undang. Menggunakan jalur DPD jauh lebih murah dibandingkan menggunakan jalur DPR: harus bayar anggota DPR, bayar partai dan partai harus mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada anggota partai dan konstituen pemilih. Sementara kepada DPD, tidak perlu membayar partai dan tidak perlu ada pertanggungjawaban kepada konstituen pemilih. Menggunakan DPD untuk mensukseskan pencapaian tujuan kekuatan keuangan internasional ini jauh lebih murah dibandingkan jika menggunakan jalur DPR.

Mekanisme atau upaya yang dilakukan oleh aktor pasar global ini akan meruntuhkan Negara secara sistematis. Pemerintah akan didegradasi menjadi aktor yang menjamin perlindungan kepada aktor ekonomi global ini dan melupakan atau mengeliminasi kewajiban kenegaraan yang menjadi mandat konstitusi. Ketika pemerintah mengalami degradasi makna dan tanggung jawab, maka rakyat (buruh-tani khususnya) akan mengalami degradasi makna yang lebih jauh lagi, dan bahkan sampai kepada proses dehumanisasi secara substansial, apalagi rakyat (buruh-tani) sudah dilihat tidak saja sebagai konsumen, tetapi juga sebagai komoditi. Karena itu buruh-tani secara khusus, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, perlu mencermati secara saksama proses degradasi makna buruh-tani sebagai aktor penciptaan nilai sosial-budaya-politik-ekonomi yang telah menempatkan buruh-tani hanya sebagai konsumen lapangan kerja. Buruh-tani perlu membangun kekuatan pertahanan diri baik secara institusional (organisasi dan hubungan sosial) yang lebih solid, dan secara filosifis-ideologis (melihat buruh-tani sebagai aktor utama penciptaan nilai yang meletakkan fondasi filosofis dan ideologis dari bangunan komunitas dan negara).



[1] Catatan untuk diskusi “Buruh dan Free Labour Market”, menjelang Hari Buruh Internasional 1 Mei 2008.
[2] Direktur Eksekutif INFID; don@infid.org

Kapitalisme Bencana dan Bencana Kapitalisme

KAPITALISME BENCANA DAN BENCANA KAPITALISME[1]

Don K. Marut[2]


Menjelang akhir tahun 2000 Perusahaan Sony kesulitan memproduksi Playstation-2 padahal pesanan dari seluruh dunia meningkat tajam. Produsen laptop dan cellular phone pun mengalami hal serupa, padahal model baru sudah disebarluaskan. Pada awal milenium baru berbagai perusahaan perangkat keras informatika dan telekomunikasi global telah mempersiapkan model-model produk baru, tetapi produksinya terhambat. Mengapa demikian?

Salah satu penyebabnya adalah supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Congo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia.[3] Karena itu Congo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Congo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Congo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Congo dan telah berulang-ulang kali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut.

Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Congo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Congo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Congo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger.

Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resep-resep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Congo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Congo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan global.

Perang dan konflik horisontal antar-warga merupakan bencana kemanusiaan yang tidak putus-putusnya. Sementara bencana dipandang membawa risiko dan membuat masyarakat rentan terhadap kelangsungan hidupnya, pihak tertentu bahkan melihat bencana (entah bencana kemanusiaan ataupun bencana alam) sebagai peluang tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat, tetapi juga untuk membangun fondasi ideologis untuk keuntungan jangka panjang. Itulah salah satu fondasi dasar ideology neoliberalisme: krisis atau bencana.


Bencana Kapitalisme dan Bisnis Transnasional

Bencana Katrina di Louissiana, Amerika Serikat, adalah salah satu contoh terburuk dari proses recovery yang tidak selesai-selesai, padahal dibandingkan dengan dana yang mengucur di daerah-daerah yang terkena tsunami tahun 2004, dana yang telah dikucurkan di Louissiana tersebut jauh lebih besar. Penanganan bencana Katrina merupakan salah satu wujud nyata dari bagaimana bencana dipakai sebagai moment untuk mengurangi peranan negara dan membiarkan kekuatan pasar yang menjadi pemain utama, dan sekaligus moment untuk mengubah landscape sosial-ekonomi dari sistem sosial-ekonomi berbasis komunitas dan dikendalikan secara publik (negara) menjadi sistem sosial-ekonomi pasar bebas.

Seorang walikota di Louissiana, ketika mengikuti pertemuan di Washington, berkampanye bahwa “ini saatnya bagi anda sekalian untuk menjadi bagian dari rekonstruksi Louissiana. Hotel yang ada, tingkat huniannya di bawah lima puluh persen, dan tidak akan bertahan. Ini saatnya untuk membeli property yang murah, dan dengan perbaikan sedikit nilainya akan membubung”. Kampanyenya ini dengan jelas menunjukkan bahwa bencana alam telah menurunkan harga property, dan itu menjadi saat yang tepat untuk para pebisnis untuk mengambil alih bisnis lokal untuk keuntungan jangka panjang.

Setelah menguasasi Iraq, langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah baru Iraq yang didampingi para penasihat ahli Amerika Serikat adalah memprivatisasi listrik dan pertambangan minyak. Ada ratusan pembangkit listrik yang semula dikuasasi negara dijual ke swasta. Demikian pun usaha pertambangan minyak yang semula dikuasai negara, segera berubah menjadi milik perusahaan-perusahaan transnasional yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat. Rakyat Iraq sedang hidup dalam kepanikan dan berusaha untuk bertahan hidup dan tidak sedikitpun memberikan perhatian kepada apa yang dikerjakan oleh pemerintahnya bersama konsultan-konsultan internasional. Di dalam situasi krisis seperti itu harga pembangkit listrik dan sumber-sumber minyak sangat murah, dan menjadi kesempatan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih kepemilikan dan meraup keuntungan.

Di Sri Lanka, penduduk kawasan pesisir yang terkena tsunami tidak diizinkan untuk menempati kembali lahan-lahan lamanya di sekitar pesisir, dengan alasan resmi untuk menghindari bencana tsunami berikutnya. Kawasan pantai pun dipagari. Tetapi bersamaan dengan itu, kawasan pantai yang sama telah diubah menjadi kawasan perhotelan dan resort untuk pariwisata milik swasta nasional dan internasional, yang mendapatkan lahan tanpa harus membeli dari penduduk lokal yang sudah dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari pantai tersebut.

Setelah kebakaran besar bulan Agustus 2007 lalu di Yunani, kawasan hutan yang terbakar yang sebelumnya menjadi kawansan lindung, hendak diubah menjadi kawasan pariwisata dan resort dan golf.[4] Kawasan ini sudah lama diincar para developer besar nasional dan internasional, dan bencana kebakaran menjadi saat yang tepat untuk mengambil alih kawasan lindung tersebut menjadi kawasan ekonomi untuk meraup keuntungan.

Di Nigeria dan Brazil, penduduk lokal disingkirkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih tanah untuk tambang atau untuk corporate farming dengan mengunakan bibit GMO.[5] Di Brazil seorang tokoh Via Campesina dibunuh oleh pasukan pengamanan perusahaan transnasional sebagai tindakan intimidasi terhadap petani-petani yang mengganggu operasi perusahaan tersebut. Di Nigeria konflik antar-agama dan antar-etnis dipicu untuk menggusur masyarakat adat minoritas lokal dari tempat tinggalnya, dan setelah itu Royal Dutch Shell dan Exxon Mobil mengambil alih tanah kelompok minoritas ini tanpa ganti rugi untuk pertambangan minyak.

Bagaimana dengan bencana-bencana kemanusiaan dan bencana alam di Indonesia? Setiap konflik yang terjadi selalu diikuti oleh masuknya investor transnasional untuk mengambil alih usaha pertambangan atau untuk mengembangkan perkebunan dengan bibit GMO. Setelah pembunuhan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jawa Timur, mulai Tuban sampai Banyuwangi tahun 1998 – 1999 (sekitar 248 orang), Monsanto denga[6]n mudah mendapat konsesi 100 ribu hektar untuk penanaman kedelai dan jagung hibrida untuk jangka waktu 25 tahun.[7] Exxon, Santa Fe dan Santos mendapatkan konsesi eksplorasi minyak dan gas bumi mulai Tuban sampai Pasuruan. Kawasan pesisir utara Jawa Timur sudah mulai berubah dari kawasan tambak menjadi kawasan perhotelan berbintang. Ketika petani Pasuruan (Grati) dibunuh oleh marinir, orang sibuk membicarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Marinir, dan lupa bahwa Grati adalah tempat pemboran minyak dan gas bumi kedua setelah Sidorarjo (Lapindo) yang sudah dikuasai Santos, Ltd., mitra bisnis Lapindo dan Keluarga Bakrie. Peta eksplorasi tambang Santos, Ltd. berikut memperlihatkan dengan jelas rencana eksploitasi minyak dan gas bumi di segitiga emas Jawa Timur, Bali dan Madura.




Setelah konflik antar-agama di Poso dan di Sulawesi Tengah secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan tambang transnasional dengan leluasa membagi wilayah tambang gas, nikel, minyak dan emas antara: Exxon Mobil, INCO, Newmont, Freeport, bersama rekanan-rekanan konglomerasi nasional seperti Bukaka, Medco dan Artha Graha.

Ketika konflik sedang berlangsung di Maluku, proyek yang dibangun pertama adalah lapangan terbang Ambon yang berskala internasional, lapangan terbang Menado yang berskala internasional dan Pelabuhan Ngadi di Pulau Kei yang juga berskala ekspor impor. Apa hubungannya konflik antar-agama dengan airport dan pelabuhan internasional ini? Apakah pemerintah mau mengungsikan korban ke luar negeri?

Setelah bom Bali pertama, ekonomi Bali lumpuh. Para pebisnis lokal dalam bidang perhotelan dan retailing hampir tidak mampu membayar kembali kredit di bank, karena tidak adanya pendapatan. Tetapi tidak lama berselang terjadi turn-over kepemilikan hotel, resort dan berbagai property lainnya. Dan tidak lama kemudian muncul berbagai hotel, resort mewah dan kondominium yang tidak dimiliki lagi oleh pebisnis lama dan terutama tidak lagi oleh orang Bali. Bisnis Bali sekarang sudah berkembang lagi, tetapi orang Bali sendiri hidup dalam kecemasan akan ancaman bom baru. (Tetapi, saya menduga, jika terjadi lagi bom sekarang di Bali, tidak akan dikategorikan sebagai serangan teroris lagi, karena para pemilik bisnis baru di Bali ingin menciptakan citra Bali yang damai demi kepentingan bisnis mereka sendiri).

Maraknya Perda Syariah dan resistensi terhadap Perda-perda Syariah di berbagai daerah diindikasi menjadi salah satu cara untuk menghancurkan solidaritas sosial lokal dan membuat masyarakat lokal sibuk dengan konflik-konflik tersebut dan melupakan kebijakan-kebijakan strategis yang sedang dipengaruhi kekuatan bisnis dan kekuatan-kekuatan keuangan multilateral. (Hal ini sama dengan apa yang terjadi di Senayan sekarang. Ketika DPR disibukkan oleh serangan korupsi BI dan korupsi lain-lainnya, DPD meluncurkan gagasan untuk amandemen UUD 1945 agar DPD memiliki kedudukan yang sama dengan DPR dalam proses legislasi. Padahal otak di belakang usul itu adalah lembaga-lembaga Bank Dunia seperti DSF, SOFEI, MDTF yang sudah membiayai proyek Rumah Aspirasi Rakyat di berbagai propinsi, dan merasa bahwa hambatan utama untuk kebijakan-kebijakan neoliberal adalah DPR sementara DPD bisa dikuasai karena merupakan wakil orang perorang).

Pada bulan-bulan awal setelah tsunami di Aceh tahun 2004 dan awal 2005, salah satu usulan Bank Dunia sebagai hasil assessmentnya dalam bidang pertanian di Aceh adalah bahwa pertanian di Aceh harus dialihkan ke tanaman perdagangan (cash crop) dengan alasan bahwa tanaman pangan sudah tidak cukup produktif untuk memulihkan pendapatan petani Aceh. Usul ini jelas ingin mendorong petani Aceh untuk masuk dalam ekonomi pasar global, apalagi usul yang diajukan jelas mengarah kepada konversi sawah ke kelapa sawit dengan pasar ekspor.

Demikian pun pada bulan Januari 2005, perdebatan yang menyita banyak perhatian adalah mengenai proposal Artha Graha untuk membangun kota Meulaboh yang dirancang untuk menjadi seperti kota Shanghai. Artha Graha dengan didukung oleh konglomerasi barunya, sejumlah perwira TNI dan bank-bank internasional begitu cepat melihat bencana di Aceh sebagai sebuah peluang besar untuk mengembangkan bisnis. Demikian pula kelompok Metrotv yang berhasil meraup dana sumbangan pemirsa, telah mendirikan sekolah-sekolah swasta unggulan di Aceh sebagai pasar pendidikan bagi masyarakat Aceh yang akan segera pulih ekonominya.

Konsorsium donor multilateral dan bilateral yang memberi bantuan untuk rekonstruksi Jogyakarta, yakni JRF (Jogya Recovery Fund) membiarkan terjadinya korupsi yang sistematis mulai dari tingkat RT. Di Bantul, misalnya, sudah terjadi konflik karena korupsi ini. Konflik antar-warga dan antara warga dan aparat pemerintah dan bencana itu sendiri telah mengalihkan perhatian seluruh warga dari upaya-upaya lembaga-lembaga multilateral ini untuk mendorong swastanisasi pelayanan-pelayanan publik di Jogyakarta. Di samping itu konflik akan menghancurkan solidaritas komunitas yang menjadi icon recovery Jogyakarta pada awal bencana. Hancurnya solidaritas komunitas ini akan menjadi modal utama untuk penggusuran masyarakat lokal (land dispossession) untuk proyek-proyek besar di kemudian hari[8]. Protes terhadap SUTET jalur selatan, misalnya, sudah tidak terdengar lagi.




Neoliberalisme dan Kapitalisme Bencana

Bencana (entah bencana kemanusiaan seperti konflik dan krisis ekonomi atau pun bencana alam) merupakan arena baru ekonomi yang mampu membawa keuntungan yang jauh lebih besar. Perang, serangan teroris, bencana alam, kemiskinan, sangsi perdagangan (embargo perdagangan yang membuat sebuah negara kelaparan, seperti Korea Utara), kekacauan pasar dan semua jenis bencana ejonomi, keuangan dan politik lainnya sudah dipandang sebagai wilayah baru bisnis besar dan menjadi pintu baru untuk meletakkan fondasi untuk penguatan ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme di wilayah bencana tersebut.

Naomi Klein dengan rinci memaparkan operasi kekuatan ekonomi global beserta ekonomi kapitalisme bencana yang semakin berkembang ini dalam bukunya The Schock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism.[9] Kapitalisme bencana ini mempunyai landasan politik dan teoretisnya tersendiri yang sudah diperkenalkan oleh para pemimpin politik dan ekonom terkenal dunia.

Presiden Dwight D. Eisenhower telah melihat peran “military-industrial complex” sebagai kekuatan pemicu pertumbuhan ekonomi yang stabil. Produksi dan produktivitas industri militer mampu memicu pertumbuhan ekonomi karena memiliki multiple linkage dengan berbagai industri lain yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan warga negara. Persoalannya adalah jika produk militer tersebut memiliki konsumsi yang jenuh, bagaimana mengatasinya? Menjawab hal ini, maka perang atau eskalasi ketegangan harus diciptakan (deadly logic). Meredanya Perang Dingin membuat military-industrial complex lesu dan itu juga berpengaruh pada ekonomi secara keseluruhan karena Perang Dingin telah menyerap berbagai industri untuk link dengan industri militer.[10] Bagaimana jalan keluarnya? Perang, konflik dan terorisme harus dimunculkan sebagai pasar penggunaan peralatan militer tersebut.[11]

Ekonom Jerman, Joseph Schumpeter, mengatakan bahwa kehancuran merupakan suatu proses yang normal dan sehat untuk menemukan dan menghasilkan teknologi baru menggantikan teknologi lama yang tidak ekonomis. Schumpeter menamakan ini sebagai “creative destruction” – penghancuran yang memberi peluang terciptanya teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Ini sejalan dengan pendapat Eisenhower tentang industri persenjataan yang berskala menghancurkan.

Milton Friedman, seorang ekonom monetaris dan penerima hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, merupakan pemikir yang tidak henti-hentinya mempropagandakan idenya tentang kapitalisme dan tidak diperlukannya campur tangan pemerintah dalam bidang wilayah individu, termasuk dalam ekonomi[12]. Milton Friedman juga percaya bahwa krisis adalah moment yang tepat untuk membangun cara baru dalam bidang ekonomi dan politik, di mana pemerintah harus melepaskan campur tangannya dalam bidang ekonomi. Pasar harus bebas sebebas-bebasnya. Campur tangan pemerintah hanya akan mendistorsi tidak hanya pada nilai, tetapi juga pada keseluruhan proses ekonomi sehingga ekonomi tidak bisa berkembang secara berkelanjutan.

Friedman mengatakakan bahwa perubahan ekonomi tidak pernah terjadi tanpa krisis yang menggoncang suatu sistem, apakah itu krisis alam atau pun krisis yang diciptakan seperti menciptakan kecemasan dan ketakutan pada publik tentang bahaya perang dan ancaman teror. Ketika bencana Katrina terjadi di Louisiana dan Mississippi, Milton Friedman menulis sebuah artikel yang provokatif di Wall Street Journal, berjudul: “The Promise of Vouchers”.[13] Friedman mengatakan bahwa bencana yang terjadi itu merupakan tragedy, tetapi juga merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan secara radikal dalam system pendidikan. Sistem pendidikan yang dimonopoli oleh Negara dan serikat guru telah membuat mutu pendidikan di Negara bagian itu jatuh di bawah standar. Karena itu dia mengusulkan adanya system pendidikan yang kompetitif, dan system yang kompetitif hanya ada dalam mekanisme pasar: pasar pendidikan. Negara hanya menyiapkan kupon untuk pembiayaan bagi anak-anak yang tidak mampu, tetapi Negara tidak boleh ikut campur dalam mengelola sekolah dan system pendidikan. Biarkan pasar yang menentukan pengelolaan sekolah.

Gagasan Friedman ini disambut gembira kalangan bisnis, mulai dari bisnis perumahan, property, hotel, dan pendidikan sampai kepada bisnis kesehatan. Pasar mulai menguasai semua sector untuk rekonstruksi daerah bencana. Apa yang terjadi? Setelah dua tahun rekonstruksi, masih ada ribuan penduduk tinggal di rumah-rumah sementara, sementara pembangunan resort, hotel, casino dan kondominium yang hanya bisa dijangkau orang kaya berkembang pesat. Segregasi social antara yang kaya dan miskin menjadi semakin tajam

Kapitalisme bencana menjadi ekonomi baru dewasa ini. Bencana bisa dalam berbagai bentuk: persenjataan yang menghancurkan pusat tenaga listrik dan rumah sakit, alam yang menghancurkan infrastruktur, badai yang menyapu bersih kota dan desa, konflik ideologis, tsunami, gempa, Lumpur lapindo, dan sebagainya. Naomi Klein mengatakan bahwa “dewasa ini ketidakstabilan global tidak hanya menguntungkan pedagang senjata; juga membawa keuntungan yang luar biasa besarnya bagi sector keamanan yang menggunakan high technology, perusahaan konstruksi besar, perusahaan rumah sakit swasta, perusahaan minyak dan gas, perusahaan produksi pangan, dan tentu saja para kontraktor industri pertahanan.

Rekonstruksi bencana alam dan bencana perang atau konflik dewasa ini menjadi bisnis yang sangat besar dan sangat menguntungkan. Perusahaan-perusahaan besar merasa gembira jika ada bencana (perang atau bencana alam), dan jika tidak ada bencana mereka akan memicu terjadinya bencana. Untuk rekonstruksi Iraq, dana yang digelontorkan sebesar $ 30 milyard, untuk rekonstruksi tsunami di Asia sebesar $ 13 milyar, dan untuk New Orleans dan Gulf Coast sebesar $ 110 milyar.

Pendapatan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi cukup untuk memicu boom ekonomi. Perusahaan-perusahaan gas dan minyak sangat dekat dengan ekonomi bencana, baik sebagai penyebab utama bencana maupun sebagai penerima manfaat utama dari bencana tersebut. Saking besarnya pengaruh perusahaan minyak dan gas dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari bencana, Naomi Klein menyebut perusahaan-perusahaan minyak dan gas ini sebagai “honorary adjunct of the disaster-capitalism complex”.

Naomi Klein meringkas kecenderungan yang diciptakan oleh ekonomi kapitalisme bencana ini sebagai berikut:

Pasar bebas bersaing dengan pemerintah.

Di masa lalu bencana yang menyebabkan kekacauan dan kehilangan nyawa manusia, pemerintah mengambil langkah cepat dengan berbagai program rekonstruksi dan recovery. Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Bencana melihat pemerintah dan lembaga-lembaga non-profit sebagai saingan yang mengambil alih bisnis baru. Mobilisasi militer, misalnya, akan menghambat kebutuhan akan tentara bayaran.


Privatisasi pemerintah untuk memberi peluang kepada kelas investor.

Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Pasar berteriak-teriak untuk memprivatisasi ekonomi dan pemerintah. Setelah Bom Bali, Bupati Jembrana meminta pembangunan airport baru di Jembrana dan pembangunan jalan toll. Di Aceh, jalan-jalan utama ke wilayah pertambangan dibangun lebih cepat, sementara di wilayah-wilayah yang tidak mempunyai potensi ekonomi dibiarkan terlantar.
Pada saat rakyat Jogyakarta dan Jateng yang terkena bencana gempa berteriak-teriak minta bantuan pembangunan rumah, wacana pembangunan toll Solo – Jogya dihidupkan lagi.

Perang menghasilkan keuntungan, damai merusak ekonomi pasar

Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Bencana membutuhkan perang untuk menghasilkan keuntungan. Iraq lama-kelamaan menjadi perang yang diprivatisasi, yang mempekerjakan 185, 000 personel (20,000 orang lebih banyak dari tenaga militer). Konflik antar-warga yang berakhir pada penggusuran dari tanah miliknya menghemat uang perusahaan untuk pengambil-alihan tanah untuk tambang di daerah-daerah yang dilanda konflik.

Pemerintah yang plutokratis mengutamakan kelas kaya daripada rakyat kebanyakan.

Pembangunan infrastruktur yang dibangun oleh industri bencana menggunakan dana publik atau utang yang harus ditanggung rakyat, tetapi dikontrol sepenuhnya oleh kelas kaya. Pembangunan waduk-waduk untuk listrik tegangan tinggi di Poso telah menggusur rakyat setempat, padahal pembangunan waduk dan listrik tersebut menggunakan utang yang kemudian akan dibayar oleh rakyat yang tergusur dan korban konflik itu juga.

Sistem perbankan bayangan:

Sistem perbankan nasional yang resmi hampir tidak berfungsi, karena munculnya sistem perbankan bayangan yang menguasai jaringan keuangan global. Angka kemiskinan tinggi terus, tetapi pasar modal dan nilai tukar rupiah stabil dan bahkan kuat.


Populisme dalam Penanganan Bencana

Kecenderungan dan pola-pola bencana (konflik dan perang) dan apa yang terjadi ketika rekonstruksi pasca bencana (alam) sudah menunjukkan proses penguatan sistem untuk memarginalisasi rakyat. Pola-pola seperti ini perlu dicermati secara saksama, agar bisa dibangun sistem respons yang tepat untuk pencegahan dampak bencana dan sekaligus untuk penanganan dampak bencana.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa pusat perhatian utama dari semua upaya penanganan bencana adalah manusia. Ini perlu dilihat sebagai kunci utama. Dan manusia yang dimaksudkan adalah kelompok orang yang paling atau kurang lebih sangat rentan terhadap marginalisasi dan proses marginalisasi berkelanjutan. Baik itu bencana sosial, politik dan ekonomi (konflik, krisis ekonomi, pertentang ideologi, dsbnya) maupun bencana alam, seyogyanya menjadi moment penting untuk mempersatukan pemerintah, rakyat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membangun ketahanan sosial bersama dan memperkuat perlindungan terhadap kelompok-kelompok paling rentan (anak, perempuan dan jompo, dan kelompok-kelompok miskin) dalam masyarakat.

Melihat kecenderungan bahwa bahkan aparatur negara pun dipakai oleh kekuatan bisnis untuk mengambil-alih peranan negara di dalam situasi bencana dan dalam pencegahan bencana, maka perlu dibuat penataan kelembagaan (institutional arrangement) yang tegas untuk melindungi pemerintah, melindungi lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan tentu saja melindungi rakyat yang paling rentan berdasarkan skala kerentanannya (karena dalam situasi bencana siapa pun bisa masuk dalam kategori rentan). Termasuk di dalam institutional arrangement ini adalah undang-undang, organisasi, kerangka kerja, kode etik dan panduan untuk membuat kebijakan prioritas dalam situasi bencana.

Dalam institutional arrangement ini, pemerintah tetap dijadikan sebagai pelaku utama yang berada di tengah-tengah penyelesaian bencana, didukung oleh berbagai lembaga masyarakat dan rakyat sendiri. Pemerintah seyogyanya menjadi pengatur dan sekaligus pengawal pelaksanaan setiap kebijakan dan program yang diimplementasikan untuk mencegah dampak bencana atau untuk mengatasi dampak bencana. Pemerintah adalah satu-satunya sandaran dan andalan bagi rakyat dalam setiap situasi bencana. Jika pemerintah memihak sekelompok tertentu di dalam masyarakat (entah pebisnis atau kelompok tertentu dalam masyarakat yang terlibat konflik), maka itulah awal dari kehancuran tatanan penanganan bencana.

Pendekatan utama dalam menghadapi bencana dan mengatasi risiko bencana adalah populisme, yakni melepaskan semua kebijakan yang bukan prioritas demi menyelamatkan rakyat terlebih dahulu, di atas kepentingan keuntungan perusahaan dan kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga keuangan multilateral (Bank Dunia, IMF dan ADB).




=***=



[1] Paper untuk pengantar diskusi dalam Seminar “Bencana Alam dan Perubahan Iklim”, INSIST, Jogyakarta, 16 Februari 2008. (Catatan pengantar saja, bukan paper lengkap).
[2] Don K. Marut, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jakarta.
[3] Kathleen Kern, “The Human Cost of Cheap Cell Phone”, dalam Steven Hiatt (ed.), A Game as Old as Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption (San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc., 2006), hal. 94.
[4] Elinda Labropoulou, “Outrage in Greece over street plan to develop land in the region ravaged by fires”, The Independent, Minggu, 19 September 2007.
[5] Isabella Kenfield dan Roger Burbach, “Corporate Murder in Brazil”, Counterpunch, October 29, 2007.
[6] Ketika terjadi penembakan petani oleh marinir tahun 2007 yang lalu, orang hanya melihat konflik kepemilikan tanah antara petani local dan marinir. Orang tidak melihat dengan cermat bahwa Grati, tempat penembakan petani tersebut, adalah calon pemboran gas bumi dan minyak kedua setelah Porong, Sidoarjo oleh konsorsium Santos, dalam kerangka eksploitasi minyak dan gas bumi segitiga emas Jawa Timur, Madura dan Bali.
[7] Don K. Marut, “Globalization and Conflicts among the Poor in Indonesia”, Keynote Speech Paper di Konferensi Partai Groen Links, Groningen, Belanda, Oktober 2003.
[8] Literatur tentang gerakan sosial, terutama tentang gerakan masyarakat adat, untuk melawan proses dispossession ini semakin meningkat akhir-akhir ini, dan hampir terjadi di semua belahan dunia.
[9] Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (London: Penguin Books, 2007).
[10] Ketika Bom Bali pertama terjadi, bukan hanya ekonomi Bali yang lesu tetapi seluruh mata rantai komoditi yang berakhir pada pasar Bali juga terkena dampak yang hebat. Contoh: industri kerajinan batik Pekalongan, Solo dan Yogya, industri kerajinan Yogya dan daerah-daerah lain. Produk-produk pertanian yang mempunyai pasar tetap Bali juga mengalami dampak yang dalam.
[11] Lockheed-Martin dan Bechtel merupakan dua raksasa dunia kontraktor persenjataan hampir mengalami kegoncangan karena jatuhnya pasar senjata setelah Perang Dingin. Dua Perusahaan ini pula yang kemudian mendapatkan pasar baru di Congo, Iraq dan Afghanistan. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia seperti Exxon Mobil, Caltex, Halliburton, Royal Dutch Shell, Chevron, dsbnya merupakan pemain utama dalam kapitalisme bencana (terutama konflik dan crisis ekonomi).
[12] Milton and Rose Friedman, Freedom to Choose: A Personal Statement (San Diego: Harcourt Brace & Company, 1990).
[13] Wall Street Journal, December 5, 2005